Minggu, 23 November 2008

PEMERINTAH JUAL BBM CAMPUR,Campur Penderitaan Rakyat, Campur Kebohongan Penguasa, Campur Tangan Asing, dst

Harga minyak mentah di bursa minyak NYMEX (New York Merchantile Exchange) pada akhir November tahun ini telah menembus 98,18 US$/barel. Masalah kenaikan harga ini menjadi pembicaraan hangat karena akan berdampak terhadap APBN 2008 dan kebijakan perekonomian Indonesia.

Problem Penyebab Naiknya Harga Minyak Mentah Internasional
Kenaikan harga minyak mentah Internasional sebenarnya bukan karena faktor dunia mengalami kelangkaan minyak, hal ini diperkuat oleh pernyataan OPEC, sebagai pemasok 40% minyak dunia, bahwa permintaan minyak dunia sebenarnya datar-datar saja, yaitu sekitar 85 juta barel per hari ( bph). Dari sisi penawaran, menurut Sekjen OPEC Abdalla Salem El-Badri, pasokan minyak mentah juga berjalan dengan baik bahkan sudah berlimpah sejak OPEC telah menambah pasokan minyak sebesar 500 ribu bph sejak 1 November 2007 (Republika, 5 desember 2007).
Analisa penyebab kenaikan harga minyak mentah yang diperdagangkan menunjukkan adanya rekayasa factor diluar penawaran-permintaan, yakni :
1.Faktor ketidakstabilan geopolitik yang diopinikan AS, yakni adanya ketidakstabilan akibat persoalan nuklir Iran, konflik Turki dengan Kurdi, dan Irak akan memacu terhambatnya pasokan minyak pada masa yang akan datang. Menurut laporan Kebijakan Energi Nasional yg dikeluarkan Gedung Putih-yg dikenal sebagai “the Cheney Report” bahwa konsumsi minyak AS lebih dari 50% merupakan impor dan sebagian besar didatangkan dari kawasan Teluk. Diramalkan bahwa ketergantungan akan terus meningkat bahkan mencapai 90% pada 2020. Opini tersebut sengaja dimanfaatkan oleh spekulan dari perusahaan-perusahaan minyak AS, seolah-olah pasokan minyak dari Timur Tengah akan terhambat dan tidak akan mencukupi konsumsi minyak AS di masa datang yang konsekuensinya akan mengurangi jatah konsumsi minyak negara-negara lainnya. Sehingga pasar minyak menjadi panik karena khawatir kemungkinan kelangkaan minyak tersebut.
2. Krisis kredit perumahan AS subprime mortgage dan rekayasa finansial Bank Sentral AS, The Federal Reserve lewat suku bunga banknya juga berperan meningkatkan harga minyak mentah internasional. Kredit perumahan subprime mortgage adalah kredit perumahan berkualitas rendah untuk para konsumen berdaya beli rendah di AS. Walau pun beresiko tinggi menjadi kredit macet, namun para investor bursa tetap berbondong-bondong menyalurkan dananya untuk subprime mortgage ini. Hal tersebut karena rendahnya suku bunga yang ditetapkan pemerintah AS menyebabkan deposito bukanlah lahan yang menarik bagi para investor untuk membiakkan uangnya, mereka lebih tertarik berinvestasi di subprime mortgage dengan suku bunga yang lebih tinggi daripada suku bunga bank.

Ketika Bank Sentral AS menaikkan suku bunganya, maka daya beli konsumen semakin melemah maka terjadilah kredit macet perumahan tersebut. Sehingga jutaan orang yang terlibat dalam bursa investasi subprime mortgage kehilangan uangnya. Krisis keuangan melanda secara merata. Para spekulan uang di bursa subprime mortgage akhirnya memilih mengalihkan investasinya ke minyak sehingga menaikkan harga minyak. Sehingga ulah spekulanlah yang turut menyebabkan kisruh harga minyak saat ini.

Analisa bahwa faktor yang menaikkan harga minyak adalah rekayasa AS didukung oleh fakta bahwa ekonomi AS sedang mengalami permasalahan. Politik minyaklah yang dijadikan alat AS untuk menolong perekonomiannya. Kenaikan harga minyak tentu akan menguntungkan perusahaan-perusahan penyedot dan pengilang minyak yang mayoritas dimiliki AS. Kenaikan harga minyak tentu juga akan menguntungkan AS karena perdagangan minyak dibayar menggunakan dollar. Sehingga faktor politis AS lah yang menyebabkan harga minyak dunia naik walaupun hal ini dengan mengorbankan perekonomian negara lain akibat inflasi dengan kenaikan harga minyak tersebut.

Dampak Kenaikan Harga Minyak Terhadap Kebijakan Perminyakan Indonesia
Menurut Menkeu Sri Mulyani, kapasitas realisasi lifting (jumlah produksi minyak mentah) hingga akhir tahun diperkirakan 910 ribu bph. Sementara konsumsi minyak sebkitar 1,2 juta bph. Sehingga dapat dikatakan Indonesia saat ini termasuk sebagai negara net importir. Sehingga secara selintas akan tampak bahwa kenaikan harga minyak mentah dunia akan memperberat APBN jika minyak masih tetap disubsidi oleh pemerintah. Oleh karena itu pemerintah yang diwakili Budiono, Menteri Koordinator Perekonomian, berencana mengalihkan premium bersubsidi ke premium yang tidak bersubsidi (premium oktan 90/Pertamax) yang saat ini ditujukan kepada pengguna kendaraan pribadi (Kompas, 4/12/07). Dengan pengalihan konsumsi premium tersebut, pemerintah berharap beban subsidi BBM di APBN 2008 bisa ditekan. Namun rencana pengurangan premium bersubsidi tersebut kemungkinan tidak akan dilanjutkan terkait dengan penurunan kembali harga minyak internasional dibawah 90 US$/barel saat ini.
Walaupun masih dalam tataran rencana, namun kebijakan ini banyak menimbulkan pro dan kontra. Sebagian pengamat pesimis kebijakan ini akan efektif dengan alasan :
• Pemerintah tidak bisa melarang SPBU diluar jalur utama menjual premium 88 kepada selain tiga kategori di atas,
• Tiga kategori konsumen tersebut, di lapangan belum tentu mudah mendapatkan premium 88
• Pemilik kendaraan pribadi tetap akan menyerbu premium 88 yang ada di luar jalur utama
• Ketidak siapan teknis SPBU di jalan-jalan utam
• Keterbatasan kapasitas kilang Pertamina di Balongan memproduksi premium 90, hanya 150 ribu bph, sehingga kemungkinan besar pasokan premium 90 akan diimpor yang tentu harganya lebih mahal dari premium 88 yang akan dimainkan oleh pihak swasta

Benarkah Kenaikan Harga Minyak Membebani APBN ?
Dalam hal BBM, menurut Kwik Kian Gie, istilah subsidi tidak berarti uang keluar. Karena itu, istilah subsidi seharusnya diganti dengan istilah selisih antara harga internasional dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah untuk diberlakukan kepada bangsanya sendiri. Pemerintah Indonesia memberikan penugasan kepada Pertamina untuk menyediakan BBM dengan harga konsumen yang ditentukan oleh pemerintah pula.
Disamping itu, meski menjadi net importer, berdasarkan Annual Statistic Report OPEC 2006, Indonesia masih melakukan ekspor minyak mentah sebanyak 301, 300 barel dengan nilai 98, 55 juta dolar dan pada saat yang sama mengimpor sebesar 116,3 juta barel pertahun atau senilai 75,71 juta dollar pertahun. Faktanya semakin tinggi harga minyak mentah, maka semakin bertambah perbedaan keuntungan (windfall) yang diperoleh pemerintah. Hal ini bersesuaian dengan pernyataan Burhanuddin Abdullah, “Dari perhitungan yang dilakukan, setiap kenaikan harga minyak sebesar satu dollar AS per barrel diperkirakan akan meningkatkan cadangan devisa sebesar 145 juta dollar AS sejalan dengan surplus transaksi berjalan.” (Kompas, 25/10/07). Demikian juga pernyataan Wapres Jusuf Kalla yang meminta masyarakat untuk tetap bersikap tenang atas kenaikan harga minyak dunia karena kenaikan harga minyak sebenarnya juga meningkatkan pendapatan negara.
Kesimpulannya kenaikan harga minyak mentah yang diperoleh pemerintah akan semakin menguatkan posisi devisa negara, sedangkan yang dimaksud pemerintah bahwa kenaikan harga minyak internasional akan semakin membebani subsidi BBM di APBN maksudnya adalah pemerintah akan kehilangan peluang keuntungan jika harga BBM dalam negeri dijual lebih rendah dari harga jual internasional.
Dilihat dari sisi pendapat pemerintah, yakni minyak telah disediakan alam, sebenarnya di dalam negeri pun pemerintah masih menangguk keuntungan dari penjualan minyak tersebut di dalam negeri. Menurut Kwik Kian Gie, biaya dasar produksi minyak yang terdiri dari biaya penyedotan (lifting), pengilangan (refinary) hingga distribusi yang harus ditanggung pemerintah hanyalah sekitar 650/L. Dengan demikian pemerintah sudah mendapat untung besar ketika menjual premium dengan harga Rp. 4500/L yakni dengan keuntungan sebesar Rp. 3.850,-/L.
Perlu diketahui alasan sebenarnya pemerintah menaikkan harga BBM adalah karena komitmen pemerintah kepada IMF, yang salah satu point perintah IMF adalah liberalisasi sektor perdagangan untuk mempermudah penetrasi produk negara-negara industri maju. Bentuk nyata dari komitmen pemerintah adalah berupa lahirnya UU Migas no 22 tahun 2001. Undang-undang yang draftnya dibuat oleh Amerika melalui lembaga bantuannya USAID dan Bank Pembangunan Asia semakin memantapkan liberalisasi di sektor hulu dan memberikan jalan bagi swasta dan asing berinvestasi dalam bisnis SPBU dan pendristibusian BBM. Liberalisasi sektor hilir (downstream) migas ini mendorong pemerintah untuk menaikan harga BBM dengan cara mengurangi subsidi untuk menarik investor asing. Jadi tidak benar alasan pemerintah mengurangi subsidi untuk menghemat anggaran

Lalu Siapakah yang Membebani APBN ?
Dalam APBN 2007, pemerintah dan DPR menganggarkan pinjaman luar negeri Rp 40,27 trilyun, pinjaman dalam negeri dalam bentuk penerbitan Surat Utang Negara (SUN) Rp 55,06 trilyun. Jadi total hutang yang akan dipinjam pemerintah mencapai Rp 95,33 trilyun. Sementara itu jumlah cicilan pokok hutang luar negeri yang jatuh tempo mencapai Rp 54,83 trilyun, pembayaran cicilan bunga hutang luar negeri dan hutang obligasi sebesar Rp 85,08 trilyun. Dengan beban pembayaran hutang sebesar Rp 139,91 trilyun, hakikatnya APBN kita tidak menerima pemasukan baik dari pinjaman luar negeri maupun penerbitan SUN. Sebaliknya APBN 2007 tekor sebesar Rp 44,58 trilyun. Fakta pos hutang pemerintah yang membebani anggaran negara tidak pernah diungkap secara luas oleh pemerintah kepada masyarakat. Pemerintah selalu menyalahkan subsidi.
Akar Masalah Krisis Harga Minyak 2007
Dari penjelasan di atas, maka yang menjadi akar masalah adalah :
1. minyak dijadikan sebagai komoditas ekonomi, sehingga harganya dapat dipermainkan pasar
2. standar uang kertas membuka peluang bagi spekulan untuk menenggak keuntungan
3. pengelolaan migas di Indonesia yang carut marut akibat diterapkan UU Migas 22/2001 sehingga berdampak pada :
• liberalisasi sektor hulu migas (diperkuat oleh UU Penanaman Modal)
• liberalisasi sektor hilir (distribusi) migas
• menjebak negara dalam permainan broker sebagai perantara pemasok minyak dengan negara
• termasuk fungsi pertamina dirubah oleh UU Migas 22/2001 menjadi persero yang berorientasi pada profit yang seharusnya BUMN yang berorientasi pada pelayanan

Solusi Islam
Jelas akar masalah kisruh akibat kenaikan harga minyak tidak lain adalah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis menjadikan migas dikuasai oleh swasta, khususnya asing, melalui mekanisme kebebasan kepemilikan. Sistem ini juga membenarnya adanya bursa yang menjadi sarang spekulan. Sistem ini pun menetapkan mata uang yang tidak lagi bersandar pada emas dan perak yang menjadikan nilainya rentan mengalami guncangan. Karena itu, terus mempertahankan sistem kapitalis sama saja dengan melanggengkan masalah serta memperpanjang penderitaan dan kesusahan. Mahabenar Allah Yang berfirman:

"Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta." (QS Thaha [20]: 124).

Karena itu pula, sistem kapitalis yang menjadi akar masalah itu harus dicabut dan dibuang. Dan selanjutnya diganti dengan sistem Islam. Sistem Islam menetapkan migas termasuk kepemilikan umum yang dimiliki seluruh rakyat secara bersama dan haram dikuasai oleh swasta. Negara pun tidak berhak memilikinya. Rasul saw. bersabda:

"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air dan api" (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Negara hanya boleh mengelolanya mewakili rakyat dan hasilnya dikembalikan seluruhnya kepada rakyat. Dengan begitu seluruh dampak positif kenaikan harga akan kembali kepada rakyat. Di samping itu pemenuhan kebutuhan minyak juga dapat dijamin.
Islam juga meniadakan bursa future, transaksi derivatif dan sektor non-real secara umum. Dengan itu, ulah spekulan bisa diblok sehingga tidak bisa menyebabkan kisruh. Di samping itu, Islam menetapkan sistem mata uang berbasis emas dan perak sehingga nilainya akan stabil dan tidak mudah terguncang. Dengan itu tidak akan terjadi kisruh harga akibat gejolak nilai mata uang.
Walhasil, untuk mengakhiri masalah-masalah di atas tidak lain hanya dengan menerapkan sistem ekonomi Islam yang berbasis syariah, yang disertai dengan penerapan syariah Islam secara total dalam seluruh bidang kehidupan. Itu semua hanya mungkin melalui institusi Negara Islam, yakni Daulah Khilafah Islamiyah yang mengikuti metode Kenabian. Pendirian Khilafah Islamiyah ini merupakan masalah yang sangat urgen dan mendesak. []

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda