Minggu, 23 November 2008

Pemilu 2009: Fenomena Golput dan Kegagalan Demokrasi

Sistim demokrasi bertentangan dengan sistim pemerintahan Islam dalam makna yang hakiki, yaitu kedaulatan membuat hukum (halal&haram) ada di tangan rakyat (mahluk) atau sekulerisme. Barat tahu persis umat Islam tidak akan pernah mau menerima Demokrasi dalam makna hakikinya tersebut. Mereka berusaha menyembunyikan bagian mendasar dari demokrasi dan mencari cara lain dalam memasarkan demokrasi, yaitu memfokuskan seruan demokrasi pada pemilu & tata pemerintahan, dengan dalih agar terbebas dari rezim otoriter. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah masuknya agenda neoliberalisme atau neokapitalisme atas nama demokrasi.

“Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang , hal terbaik yang harus dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi.” (Goerge W. Bush, 6/11/2004)
___________

Hiruk pikuk hajatan besar pesta ‘demokrasi’ 2009 sudah mulai terasa, sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 34 Partai politik nasional dan 6 partai lokal di Nangroe Aceh Darussalam lolos sebagai peserta pemilu 2009. Bebagai bendera, poster, iklan tokoh di televisi dan kampanye pun sudah berjalan. Apalagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah memberi lampu hijau untuk kampanye dengan syarat tidak terbuka dan mengerahkan massa.

Untuk Pemilu 2009 ini, pemerintah telah mengalokasikan dana penyelenggaraan pemilu sebesar Rp 6, 67 triliun dan dana keperluan operasional KPU sebesar Rp. 793,9 miliar. Selain itu pemerintah pun terus meningkatkan penggalangan donor dana hibah pemilu 2009 yang menurut United Nations Development Programme (UNDP) membutuhkan sekitar 30 juta dolar AS. Sebelumnya, Bappenas dan UNDP menandatangani hibah dengan perolehan dana sebesar 15 juta dolar AS.

Namun ironis, biaya pemilu yang memakan dana cukup besar tersebut berbanding terbalik dengan antusiasme rakyat yang semakin menurun terhadap pelaksanaan pesta sejenis pemilu. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kecenderungan mereka yang tidak menggunakan hak memilih (Golput) di sejumlah pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang rata-rata di berbagai provinsi mencapai 38 sampai 40%. Sebetulnya jika persentase kemenangan dihitung berdasar jumlah penduduk yang memiliki hak pilih, maka di berbagai daerah yang menjadi pemenang seharusnya adalah Golput.

Pilkada Provinsi % GOLPUT Pilkada Provinsi % GOLPUT
Jawa Barat 35 % Banten 40 %
Sumatera Utara 43 % Jambi 34 %
DKI Jakarta 39,2 % Kepulauan Riau 46 %
Jawa tengah 49 % Kalimantan Selatan 40 %
Jawa Timur 38 % Sumatera barat 37 %

Untuk Pemilu sendiri, Data Kompas menunjukkan tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 mencapai 92,74 %. Pada pemilu legislatif tahun 2004 tingkat partisipasi turun menjadi 84,07 %. Adapun tingkat partisipasi pada Pemilu Presiden 2004 di putaran I dan putaran II masing- masing sebesar 78,23 % dan 77,44 %. Tingginya persentase golput dalam pilkada saat ini diprediksi banyak pihak akan berimbas pada pemilu 2009. Diperkirakan jumlah Golput membengkak hingga 40% pada pemilu 2009. Prediksi ini membuat panik para elit politik dan pimpinan parpol, berbagai statement dan fatwa terkait golput pun segera dilancarkan.

Mengapa Golput Meningkat?

Tingginya angka golput merupakan indikasi sikap apatis masyarakat terhadap pesta demokrasi atau bahkan demokrasi itu sendiri. Menurut Syamsuddin Haris , secara umum ketidakhadiran sebagian masyarakat dalam memberikan suaranya dalam pemilu dan pilkada dapat dikategorikan atas dua kelompok. Pertama, karena faktor teknis seperti tidak terdaftar sebagai pemilih, salah coblos dan alasan-alasan lain yang bersumber pada kekacauan manajemen pemilihan. Golput karena faktor teknis sebenarnya tak perlu dikhawatirkan karena hal itu bisa berkurang jika kualitas manajemen pemilu dan pilkada dibenahi oleh KPU atau KPUD. Penyebutan golput pun tidak tepat karena istilah yang berasal dari frasa ”golongan putih” itu ditujukan bagi mereka yang tidak menggunakan hak pilih

Kedua, karena faktor politik. Alasan Golput karena faktor politik ini bisa kita kelompokkan lagi menjadi 3, yaitu:
1. Kecewa atau tidak percaya terhadap partai politik (parpol), tidak terkecuali partai Islam, karena menganggap kinerja parpol buruk dan tidak memuaskan publik. Hal ini tercermin dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap wakil-wakil partai politik di DPR. Jajak pendapat Kompas (10/3/2008) menggambarkan 68,5 % dari responden menganggap kinerja DPR buruk ; 84% mengatakan DPR tidak serius awasi kerja pemerintah, 52,5 % UU produk DPR tidak memihak kepada rakyat. Berkaitan dengan partai Islam, Lembaga Survey Indonesia (oktober 2007) menggambarkan dukungan terhadap dua partai yang dikenal sebagai partai Islam PKS dan PPP cendrung stagnan kalau bukan dikatakan menurun. LSI juga menilai PKS dan PPP justru semakin sekuler.

Hal ini karena citra buruk parpol begitu nyata di mata publik, antara lain: Pertama, parpol sangat pragmatis sebagai akibat parpol lebih berorientasi pada kekuasaan. Seiring era Pilkada, peran parpol yang asal mencari menang kian terlihat. Koalisi antarparpol yang berseberangan ideologi atau beradu kepentingan di tingkat pusat, pudar di daerah, menjadi kendaraan politik untuk memenangkan calon yang dimajukan. Kedua, partai-partai yang ada gagal menunjukkan keberpihakan secara konsisten terhadap kepentingan dan nasib rakyat. Janji-janji muluk yang dilontarkan semasa kampanye, ternyata tinggallah janji. Usai Pemilu partai cenderung meninggalkan konstituennya dan menyibukkan diri dengan kepentingan partai ketimbang kepentingan masyarakat. Ketiga, praktik money politics, keberadaan partai sering hanya dijadikan sebagai kendaraan untuk mencari sumber kekayaan oleh para kadernya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aroma uang selalu menyertai proses-proses politik dan jabatan yang selama ini terjadi.

Dengan ketiga citra diatas, menyebabkan parpol bukan menjadi pilihan utama penyaluran aspirasi publik. Jajak pendapat Kompas juga menyebutkan, dalam fungsinya sebagai tempat menyalurkan aspirasi sosial politik, kiprah parpol yang ada diakui paling rendah (11,3%), dibandingkan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) (16,7%), lembaga keagamaan (22, 7%), maupun media massa (39%).

2. Tidak percaya terhadap sistem kehidupan yang sedang berlaku (alasan ideologis). Masyarakat kelompok ini menganggap penyebab berbagai kebobrokan dan kehancuran disebabkan sistem yang rusak yang berjalan di atas rel Kapitalisme. Sistem ini telah menyuburkan praktek politik opportunistik yang hanya mengabdi pada kepentingan pribadi, kelompok, dan partainya. Sementara rakyat hanya menjadi alat legalitas untuk meraih kekuasaan melalui pilkada dan pemilu. Sehingga dianggap hanyalah harapan hampa bagi perbaikan jika yang terjadi hanya perubahan personil pemimpin (melalui pemilu) tanpa disertai perubahan sistem. Ada 2 kecenderungan arus pilihan, ada yang menginginkan Sosialisme sebagai penggantinya, dan sebagian masyarakat lain menghendaki Sistem Islam dengan memahami bahwa perubahan menuju perbaikan hanya mungkin dilakukan jika Syari’at Islam dijadikan landasannya.

Ditengah hasil survey menurunnya dukungan dan kepercayaan terhadap parpol, ada yang menarik dari hasil beberapa survey yang menunjukkan dukungan terhadap syariah Islam meningkat. Survey Roy Morgan Research yang terbaru (Juni 2008) mengatakan : 52 % rakyat Indonesia menuntut Penerapan Syariah Islam. Hal ini sejalan dengan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga lainnya sebelumnya. Hasil survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 dan 2002. Hasil survei menunjukkan: sebanyak 67% (2002) responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Padahal survei sebelumnya (2001) hanya 57,8% responden yang setuju dengan pendapat demikian. Berarti peningkatannya cukup signifikan, yakni sekitar 10%.

Kita tentu sah-sah saja tidak setuju 100 persen terhadap hasil survey diatas atau ada hasil survey lain yang hasilnya berbeda. Termasuk sah juga mengatakan hasil survey belum tentu menunjukkan sepenuhnya kenyataaan yang ada. Namun yang jelas dari berbagai survey, ada kecenderungan yang sulit ditolak bahwa masyarakat semakin apatis terhadap demokrasi dan sebaliknya kecendrungan untuk mendukung syariah semakin meningkat. Artinya, ini bisa menjadi indikator penting.

Di sisi lain, kelompok pro Sosialis pun tidak tinggal diam, ditengarai mereka sedang memanfaatkan kekecewaan masyarakat kepada elit politik dan pemerintah untuk mengorganisasi golput dan menggerakkan tuntutan perubahan sistem.

Golput karena ketidakpercayaan terhadap sistem ini telah membuat khawatir kelompok pro demokrasi Kapitalis. Sehingga harus ada upaya-upaya untuk meluruskan rel demokrasi yang dianggap masih melenceng. Barangkali upaya kelompok liberal seperti Rizal Malarangeng, Ratna Sarumpaet dll sebagai for president pada 2009 dalam rangka melakukan hal itu.

3. Kecewa atau tidak percaya pada sistem pemilihan. Alasan golput ini disuarakan oleh Mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang kecewa setelah tidak bisa maju sebagai kandidat Presiden pada 2009 dan juga setelah kekalahan pengakuan kubu partainya oleh KPU berhadapan dengan kubu keponakannya Muhaimin Iskandar.

Pembentukan Parpol Yang Rusak

Partai merupakan sekumpulan ide dan orang yang meyakininya berjuang agar ide-ide tersebut diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Maka, parpol Islam merupakan sekumpulan ide Islam dan orang-orang yang meyakininya berjuang agar ide-ide Islam itu diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Ide-ide yang hendak diwujudkan itu adalah ide-ide yang meliputi sekumpulan konsep kehidupan dan metode implementasinya atau biasa disebut ideologi. Namun, gambaran parpol saat ini khususnya yang berlaga pada 2009, termasuk parpol Islam, hampir tidak ada satu pun yang bisa dikatakan mengemban ideologi sebagai tujuan partai. Justru yang nampak pragmatisme politik begitu kental. Mengapa demikian?

Dalam buku Politik Partai, Merentas Jalan Baru Perjuangan Partai Politik Islam, Muhammad Hawari mengungkapkan, kegagalan partai Islam untuk memperjuangkan hak umat Islam disebabkan partai itu telah mengabaikan asas-asas partai, yaitu, pemikiran sebagai penentu tujuan partai (fikrah), metode yang ditempuh partai (thariqoh), sisi anggota partai (kesadaran individu) dan cara menyatukan masyarakat dengan partai (ikatan). Artinya, menurut beliau, penyebab kegagalan partai yang ada saat ini adalah dari sisi pembentukan partai yang cacat sejak awal.

Dari sisi pemikiran, partai-partai yang ada saat ini umumnya berdiri di atas pemikiran yang masih bersifat umum tanpa ada batasan yang jelas, bahkan kabur atau samar. Pemikiran yang didengungkan partai justru pemikiran yang sangat umum dan tidak mencakup seluruh aspek kehidupan seperti nasionalisme, sukuisme dan patriotisme. Lebih parah lagi, partai nasionalis dan patriotis di Indonesia tidak menyadari bahwa pemikiran yang diemban adalah pemikiran Barat alias kapitalisme dan liberalisme. Adapun partai-partai Islam, meski berasaskan aqidah Islam namun masih bersifat spiritual saja. Ini bisa dilihat dari jargon-jargon mereka yang masih umum dan tidak jelas/rinci, seperti meski mengklaim berjuang untuk penegakan syariat Islam namun tidak jelas seperti apa gambarannya dan bagaimana metodenya. Jargon seperti mengembalikan Kemuliaan Umat islam, Kejayaan Umat Islam juga tidak memiliki batasan yang jelas. Bahkan ada juga partai islam yang dalam jargon saja tidak sedikit pun membawa nama Islam, justru mengusung jargon universal dan bersifat umum seperti bersih, peduli dan profesional.

Maka wajar bila dikatakan partai-partai yang ada saat ini justru Nir-Ideologi, sehingga mudah saja bagi partai berkoalisi dengan siapapun karena memang tidak ada ’idealisme’ pemikiran ideologis yang menjadi penentu tujuan partai, bahkan yang seharusnya ia menjadi ’nyawa’ bagi partai. Satu-satunya tujuan partai adalah meraih suara untuk menduduki kekuasaan dulu, masalah ideologi bisa dirumuskan nanti setelah berkuasa.

Selain itu, partai yang ada tidak memahami metode untuk mengaplikasikan pemikiran mereka. Pemikiran yang diemban justru diaplikasikan dengan cara serampangan tanpa persiapan dan kacau. Ingin menerapkan Islam tapi tanpa Khilafah atau menerapkan Islam melalui demokrasi. Apalagi pemikiran partai tersebut tampak kabur dan samar. Akibatnya, perjuangan partai terkesan reaktif, yakni hanya merupakan reaksi terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Semua ini sebagai akibat dari sikap partai yang sekadar membebek pada apa yang menjadi tren di dunia. Tidak konsisten, mudah terjebak untuk tawar-menawar atau kompromi dengan penguasa dan pejabatnya, berkoalisi dengan partai-partai lain yang kadang tidak sehaluan adalah warna metode mereka.

Selanjutnya, partai-partai yang ada, termasuk partai Islam, bertumpu pada orang-orang yang tidak memiliki kesadaran dan kehendak yang benar. Para aktivis partai yang ada hanyalah sekelompok orang yang sebatas berbekal semangat karena dipicu dari kondisi yang terjadi di negara. Ini sangat berbahaya. Jika hanya bermodalkan semangat dan semangat itu mengendur, maka cita-cita juga ikut mengendur. Pada akhirnya, perjuangan pun berhenti. Apalagi kemudian para aktivis partai mendapatkan kedudukan empuk di pemerintahan. Banyak contoh mengenai hal ini, beberapa aktivis yang dulu berseberangan dengan pemerintah, kini diam setelah duduk dalam wakil pemerintahan.

Kesalahan terakhir adalah masalah kaderisasi, orang-orang yang memikul tugas kepartaian tidak memiliki ikatan yang benar, kecuali sebatas ikatan organisasi. Ikatan yang menyatukan mereka dalam partai hanyalah ikatan yang didasarkan pada sejumlah deskripsi kerja keorganisasian dan jargon partai. Akibatnya, partai-partai seperti ini biasanya mencari orang-orang yang memiliki kedudukan dan pupularitas di tengah masyarakat. Ramainya rekrutmen caleg dari kalangan artis merupakan gambaran yang nyata akan hal ini. Dampak model kaderisasi seperti ini adalah rawannya konflik internal yang menyebabkan perpecahan di tubuh partai, karena secara alami akan terjadi rebutan pengaruh kedudukan dalam partai. Dan realita tersebut saat ini kita saksikan bersama, termasuk juga pada partai Islam atau yang berbasis massa Islam. Perpecahan ini tentu akan sangat berpengaruh pada pecahnya pula suara umat serta citra partai yang semakin buruk di mata umat.

Dengan gambaran kegagalan 4 point pembentukan partai ini, bisa dipahami mengapa partai-partai yang ada tidak bisa menjadi harapan masyarakat. Bagi kaum muslimin, jelas tidak perlu lagi mengindahkan pilihan pada partai sekuler dan nasionalis, tapi bagaimana dengan partai Islam yang notabene mengklaim membawa aspirasi umat Islam?

Jebakan Lumpur Demokrasi

Cacatnya pembentukan partai di atas tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sistem pemerintahan yang berkuasa saat ini yakni demokrasi. Demokrasi sering menjanjikan angin segar bagi para aktivis kebangkitan khususnya kaum muslim untuk bisa mewujudkan tujuannya secara cepat. Demokrasi sangat pintar menyembunyikan jati diri ’kedaulatan rakyat’ dan mengantinya dengan keindahan ’partisipasi rakyat’.

Sepertinya hal itu berjalan cukup efektif di beberapa tempat. Beberapa gerakan Islam yang tadinya teguh dalam memegang prinsip Islam, sedikit demi sedikit luntur setelah terjebak dalam ‘lumpur’ demokrasi ini. Logika perjuangan via parlemen sepertinya lebih mudah dicerna, mendirikan parpol, ikut dalam pemilu, berkampanye, memenangkan suara, duduk di parlemen dengan suara mayoritas, sehingga mudah mengeksekusi hukum yang sejalan dengan Islam. Dan perubahan ke arah kehidupan Islami pun terjadi, logika dangkal yang terbawa keadaan.

Karena kekuatan demokrasi ada pada banyaknya suara, sikap pragmatisme politik pun muncul. Yang penting adalah bagaimana mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya, tidak terlalu penting bagaimana caranya. Pantas, kalau dalam beberapa pilkada, beberapa partai yang memiliki akar gerakan Islam, berkoalisi bukan berdasarkan kesamaan ideologis, tetapi kesamaan kepentingan meraih suara. Prinsip utama akidah Islam yang menuntut terpisahnya secara tegas antara yang hak dan batil pun dilanggar.

Tidak hanya itu, lagi-lagi karena yang penting adalah meraih suara terbanyak, seruan untuk menegakkan syariah Islam pun nyaris tidak terdengar dari gerakan Islam yang berpartisipasi dalam demokrasi. Alasannya sederhana sekali, seruan syariah Islam tidak laku dijual untuk meraih suara. Sepertinya, partai yang berbasis gerakan Islam banyak melupakan fungsi utama partai atau gerakan, yaitu melakukan proses edukasi politik dan sosialisasi politik. Sebagai gerakan Islam, ketika rakyat belum menerima syariah Islam, justru tugas partai politik untuk menyadarkan masyarakat, bukan sebaliknya; malah tidak melakukan penyadaran.

Demokrasi kemudian menuntut setiap partisipannya bersikap kompromistis dalam pengambilan keputusan. Hal ini tampak dari berbagai pengambilan kebijakan di parlemen. Jadilah kebijakan yang seharusnya ditolak dan ditentang oleh partai-partai berbasis Islam karena merugikan rakyat—seperti kenaikan BBM, impor Beras, UU SDA, dan UU Migas—justru di dukung, baik secara tegas maupun malu-malu.

Selain itu, biaya politik demokrasi tidaklah sedikit, sehingga sering memaksa partisipan demokrasi menggalang dana yang besar. Dari siapa lagi dana bisa terkucur kecuali dari orang-orang yang memiliki modal (kelompok pebisnis), dan seringnya bantuan dana tidaklah gratis selalu diiringi dengan berbagai komitmen kepentingan. Disinilah, secara natural sistem demokrasi akan membentuk negara korporasi. Pilar negara korporasi ini adalah elit politik dan kelompok bisnis. Kelompok bisnis mem-backup politisi dengan dana, setelah terpilih sang politisi terpaksa balas budi, membuat kebijakan untuk kepentingan kelompok bisnis. Nyatanya, demokrasi tidak lebih dari sekedar penjaga ideologi Kapitalisme.

Bukankah ini merupakan bukti bahwa demokrasi tidak akan melahirkan pemimpin yang unggul dan peduli terhadap kemaslahatan masyarakat/umat. Pemilu 2004 yang dipuji-puji Barat sebagai pemilu demokratis ternyata justru melahirkan kepemimpinan SBY-JK yang melahirkan kebijakan pro penderitaan rakyat yang lebih buruk dari sebelumnya. Kenyataan yang paradoks ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi telah di mulai dari Peru hingga Palestina, dan dari Ghana sampai Venezuela. Maka sangatlah aneh, jika masih percaya kalau demokrasi akan mengakomodir kepentingan seluruh rakyat. Realita sudah demikian jelas, masihkah kita tetap mempertahankan demokrasi dan menjadikannya sebagai jalan kebangkitan?

Pandangan Islam

Tujuan keikutsertaan sebuah partai atau gerakan ideologis dalam pemilu, biasanya adalah meraih kepemimpinan untuk mengubah sistem yang ada diganti dengan sistem/ide-ide yang diemban partai. Pemilu bukanlah jalan atau metode perubahan, namun ia hanyalah salah satu uslub (cara) yang mubah, boleh dipilih, boleh tidak, dengan tetap memperhatikan aturan-aturan Syariat. Intinya, yang diharapkan dari memenangkan pemilu adalah kemampuan ’mengubah’ sistem. Sebuah perubahan tidak akan ada artinya tanpa ada dukungan dari umat. Hanya umat yang memiliki kesadaran politik Islam sajalah yang akan mampu menggerakkan atau digerakkan menuju perubahan. Karena itu, yang menjadi fokus setiap partai atau gerakan seharusnya adalah bagaimana terus-menerus meningkatkan kesadaran umat.

Adapun terkait pilkada, dalam sistem pemerintahan Islam, mengangkat dan memberhentikan seorang gubernur atau wali merupakan wilayah kewenangan Khalifah. Ini ditunjukkan oleh perbuatan Rasulullah yang mengangkat Muadz bin Jabal menjadi wali di Janad, Ziyad bin Labid di Hadramaut juga Abu Musa al-Asy’ari di Zabid dan ’Adn. Perbuatan tersebut dilanjutkan khalifah-khalifah berikutnya seperti Umar bin Khaththab yang mengangkat Mu’awiyah bin Abu Sufyan menjadi wali di Syam. Khalifah Ali bin Abi Thalib mengangkat Abdullah bin Abbas menjadi wali di Bashrah. Begitu pula Rasulullah pernah memberhentikan beberapa wali tanpa ada alasan apapun. Sehingga, sistem pemerintahan Islam menganut pola sentralisasi. Berlangsungnya pilkada beberapa tahun ini, tidak bisa dilepaskan dari proses desentralisasi atau otonomi daerah, sebagai salah satu konsekuensi demokrasi untuk membuka keran sebesar-besarnya partisipasi rakyat. Namun proses politik pilkada ternyata lebih sering tidak memberi kebaikan kepada masyarakat. Hal ini terjadi bila ternyata pasangan yang menang di daerah bukanlah kubu yang sama dengan pemerintahan pusat. Tidak jarang terjadi friksi dan konflik horizontal yang mengancam kstabilan masyarakat, dan otomatis menghambat sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah. Kasus terakhir adalah Pilkada Maluku Utara.

Bagaimanakah gambaran sebuah partai Islam yang shahih? Partai yang berideologi Islam seharusnya memiliki beberapa karakter, di antaranya:
a. Dasarnya Islam. Islam bukan hanya menjadi dasar, tetapi sekaligus menjadi panduan partai untuk membangun pandangan, pemikiran dan hukum yang diadopsi dan diperjuangkannya.
b. Kader-kadernya berkepribadian Islam. Mereka berpikir dan berbuat berdasarkan Islam. Mereka pun menjadi sumberdaya manusia (SDM) yang siap untuk menerapkan syariah Islam. Ikatan yang menyatukan mereka bukan kepentingan atau uang melainkan akidah Islam. Dengan begitu, mereka akan menjadi kader-kader yang ikhlas dan berjuang tanpa pamrih.
c. Memiliki kepemimpinan Islam. Islam hanya mengenal kepemimpinan tunggal (al-qiyadah al-fardiyyah). Kepemimpinannya dibangun dengan pemikiran Islam dan ditaati selama tidak menyimpang dari Islam.
d. Memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas terkait berbagai hal. Partai Islam harus memiliki konsepsi yang jelas tentang sistem ekonomi, pemerintahan, sosial, pendidikan, sanksi hukum dan sistem politik luar negeri Islam. Konsepsi inilah yang disosialisasikan kepada masyarakat hingga mereka menjadikan penerapan semua sistem tersebut sebagai kebutuhan bersama. Syariah Islam inilah yang diperjuangkan untuk ditegakkan. Konsepsi ini tidak akan dapat dilakukan kecuali dengan adanya metode operasional (tharîqah)-nya. Metode operasionalnya tak lain adalah pemerintahan yang menerapkan Islam. Itulah Khilafah Islam, yang harus menjadi satu-satunya metode penerapan Islam yang harus diperjuangkan oleh partai Islam.
e. Mengikuti metode yang jelas dalam perjuangannya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
f. Melakukan aktivitas: (a) Membangun tubuh partai dengan melakukan pembinaan secara intensif sehingga menyakini ide-ide yang diadopsi partai; (b) Membina umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syariah yang diadopsi oleh partai sehingga tercipta opini umum tentang syariah Islam sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah umat dan penerapan syariah islam secara kaffah dalam wadah Khilafah; (c) Melakukan perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang bertentangan dengan Islam; (d) Melakukan koreksi terhadap penguasa yang tidak menerapkan Islam atau menzalimi rakyat; (e) Perjuangan politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa yang zalim.

Berharap pada Partai Islam

Allah SWT berfirman:
”Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS Ali Imran [3]: 104).

Kelompok/jamaah yang dituntut dalam ayat di atas haruslah berbentuk partai politik. Hal ini dipahami dari fungsi kedua dari kelompok itu, yaitu amar makruf nahi mungkar. Cakupan amar makruf nahi mungkar amat luas, termasuk menyeru para penguasa agar melaksanakan syariah Islam dan melarangnya menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan syariah Islam. Aktivitas demikian merupakan aktivitas politik sekaligus termasuk kegiatan politik yang amat penting, yang menjadi ciri utama kegiatan sebuah partai politik.

Dengan demikian sangat jelas, partai politik Islam semestinya menyuarakan penerapan syariah Islam. Bila gambaran parpol Islam peserta Pemilu 2009 masih tetap seperti sekarang ini, sangat wajar jika umat kelak benar-benar meninggalkan mereka, bahkan meninggalkan hal berbau politik. Tentu ini sangat berbahaya. Karena sebuah perubahan sistem tidak akan dilakukan tanpa dukungan umat dan tanpa sebuah partai politik. Sehingga harapan satu-satunya kini ada di pundak partai politik yang shahih, yakni partai politik yang mengemban Islam sebagai Ideologi, yang berjuang untuk menerapkan sistem yang diatur oleh syariah Islam melalui tegaknya Daulah Khilafah Islam. Hanya Partai Islam ideologis sajalah yang mampu melihat persoalan umat secara jernih dan menyeluruh serta mengetahui solusi terbaik yang akan menjadi rahmat bagi semesta alam.

Tugas parpol ideologis memang berat, karena selain membangun kesadaran Islam ideologis pada umat, juga harus membersihkan noda-noda hitam ’politik’ yang terlanjur buruk di mata umat, selain juga melakukan penyadaran politik yang shahih pada partai-partai Islam. Bagaimana pun parpol Islam, tetap bagian dari umat yang aktivis-aktivisnya masih memiliki perasaan Islam. Wacana membangun Poros Islam 2009 adalah salah satu uslub yang dilakukan 000 untuk mengawal parpol Islam pada Pemilu 2009 agar konsisten menyuarakan ide-ide Islam, Syariah dan Khilafah. Sedangkan proses pembinaan umat tetap dijalankan secara terus menerus dalam rangka membangun kesadaran umat dan terbentuknya kekuatan politik Islam, yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariah Islam.

Semoga pertolongan Allah segera datang, seiring kesungguhan dan keistiqomah para pengemban Islam Ideologis yang ikhlas dan tak kenal lelah. Karena, pada siapa lagi umat akan berharap selain mereka? Dan janji Allah atas orang-orang ini telah menanti, sebagaimana firman-Nya”

Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan hartanya dan berperang sebelum penaklukan Mekah. Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan hartanya dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka balasan yang lebih baik dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (Al-Hadid ; 10)


Maka, apakah sama nilai orang-orang yang berusaha memperjuangkan pemikiran Islam agar terbentuk kembali peradaban Islam yang khas, Daulah Khilafah Islam, dengan orang-orang yang di kemudian hari berduyun-duyun tunduk bergabung dalam peradaban Islam tersebut? walau tentu pun keduanya sama-sama dalam kebaikan. Bukankah kita memang hidup untuk itu? Semoga kita termasuk golongan orang-orang awal yang turut mempersiapkan tegaknya peradaban Islam, Amin. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.[]

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda